Kamis, 15 Februari 2018

Handphone Berlayar Gelap

“Nda... ngapain?” itu suara Mush’ab. Hari ini mereka tidak sekolah tapi kenapa ia bangun cukup pagi. Pukul lima lewat. Mau tidak mau aku menjawab pertanyaanya meski di dalam WC, “pipis bentar.” Jika tidak kujawab justru akan bersambung ke pertanyaan lainnya. 

Begitu membuka pintu WC, si sulung menunjukkan popok ke hadapanku. “Apa ini?”
“Adek pipis. Celananya kakak buka.” Tanpa menunggu kelanjutan ceritanya, aku berlari ke kamar. Mush’ab mengikuti.

Oalah... dua bocil lainnya pun sudah bangun. Padahal rencanaku akan beres-beres rumah dulu sebelum membangunkan mereka. “Nda... adek eek,” kali ini yang melapor Raihan. Ia mengangkat sebelah kaki  Azzam yang usianya baru satu setelah bulan. Refleks kupegang kepalaku dengan kedua tangan dan teriak, “kakak...!” Lalu dengan begitu saja, kaki mungil itu mendarat mendadak di kasur. 

Belum usai panikku, Mush’ab kembali menunjukkan sesuatu. “Oh... kakak,” kini suaraku justru memelas demi melihat kenyataan bahwa nyaris sepenuh spei ada noda pups.  

dua senjata saya; laptop dan handphone
Tumpukan piring kotor dan cucian yang belum dijemur tinggal kenangan. Kusandarkan badan di dinding. “Tarik nafas... buang. Tarik lagi... sabar!” sugestiku mendamaikan hati. Pagi ini aku harus menghadiri acara temu blogger. Dan sungguh akan tidak nyaman jika hariku ternoda oleh aksi marah-marah.

Kupikir si sulung sadar bundanya siap meledak maka ia mengeluarkan jurus ngeles. “Kita jadi pergi kan, Nda?” Aku bergeming. Masih butuh waktu untuk menurunkan emosi. Dua tiga menit kemudian barulah aku kembali normal. 

Sembari membersihkan si bungsu, aku memanaskan air untuk mandi ketiga bocil. Anak empat dan tiga tahun itu sebenarnya sudah kulatih mandi sendiri. Namun terkadang aku yang tidak tega melihatnya. Sudah mandi tapi punggung badan tak tersentuh air sedikitpun. Atau siap berpakaian nyatanya masih ada busa di sela-sela jarinya. Jadi jika tidak dalam kondisi darurat satu seperti pagi ini, biasanya aku masih memandikan mereka.

“Anak-anak sama siapa?” suami menelpon saat aku baru saja masuk ke ruangan acara. Untuk keperluan kantor, selama tiga hari ia harus keluar kota.

“Ada kakek, mamang dan bibinya yang menemani,” jawabku sedikit berbisik karena sedang berlangsung kata sambutan dari panitia acara. Anak-anak akan dititip di rumah orang tua jika sesekali ada acara yang tidak memungkinkan membawa mereka.

“Selesainya jam berapa?” Baru juga datang sudah ditanya pulang, selintas gerutuku. Namun segera kutepis. Masih tetap bisa menulis dansejumlah aktivitas di luar rumah saja harusnya patut kusyukuri. Bukankah banyak juga yang setelah menikah seolah ditelan bumi. “Nanti langsung jemput mereka ya,” ternyata pesan sponsor belum usai.

Sekitar empat puluh blogger berkumpul. Setelah setahun lalu memutuskan aktif ngeblog, ini moment spesial bagiku. Bertemu dengan blogger dari beberapa komunitas di kota ini. Meski kebanyakan para jomblo, beberapa berstatus sama denganku, emak-emak. Sembari mendengar pemaparan pemateri, kami diminta memulai tugas. Ngetwit juga upload foto. Targetnya jadi tranding topic selain tentu saja sosialisasi lewat blog masing-masing.

promosi blog lewat ig
“Saya tinggal di desa. Jaraknya sekitar 25 km dari sini. Kalau listrik padam, pasti tidak ada sinyal,” kalimat perkenalanku saat dipersilahkan bertanya. “..., ternyata jadi bloggger itu ribet.  Gak cukup bisa nulis saja. Harus bisa moto yang bagus. Harus bisa lay out blog. Harus ngerti banyak istilah. Bahkan harus promosi  tulisan di sosmed. Belum selesai belajar yang ini. Yang itu sudah nunggu. Trus gimana tipsnya buat saya yang ibu rumah tangga sekaligus gaptek biar tetap eksis ngeblog?” curhatanku.

Sebenarnya materi tentang kepenulisan adalah bonus dari panitia. Tapi pemateri yang hadir tidak sembarangan. Blogger yang memang kompeten dari ibu kota. “Tujuan kita ngeblog itu apa? Sekadar senang-senang, cari teman, tempat curhat atau cari uang.” Pembicara menyapu pandangannya ke semua peserta. 

“Kalau menurut saya, yang penting kamu bahagia dengan ngeblog. Menulis saja sesuai kata hatimu. Jangan dibebani dengan statistik pengunjung, DA, BW dan istilah lainnya. Lebih baik punya satu pembaca yang benar-benar suka tulisanmu dibanding  banyak view tapi palsu.” Ada sorai-sorai di hatiku.      

“Hayo ngetwitnya jalan terus ya,” mbak moderator berjilbab merah itu mengingatkan peserta. Dan aku baru sadar kalau dari tadi asyik menyimak materi sampai lupa membuka akun sosial media.

“Astagfirullah.” Pekikku tertahan. Ingatanku mundur beberapa jam kebelakang.  Semalam Mush’ab sibuk memakai handphone untuk memfoto robot dari lego karyanya. Dan aku tidak memeriksa lagi saat ia mengembalikannya. Drama pagi tadi membuat kondisi handphone luput dari perhatianku.

salah satu acara blogger yang saya ikuti
Teman di sebelah menoleh, “ada apa, mbak?” Aku tidak menjawab. Kusurungkan hp dengan layarnya yang gelap. Ia pun tersenyum.  Pantas saja dari tadi aku tidak terganggu dengan getaran handphone. Aku terpaku saat layar di sisi kanan-kiri ruangan menampilkan twit tiap-tiap peserta.

“Nanti harus buat ulasan yang keren di blog,” hibur hatiku yang baru sesaat merekah kini kembali kuncup.


Share:

3 komentar:

RUMAH BACA AL-GHAZI

RUMAH BACA AL-GHAZI